HATI NURANI
Malam ini salah satu TV swasta nasional membahas tentang “Presiden tagih hutang Lapindo”, tokoh – tokoh politik, anggota DPR, Budayawan, pengamat ekonomi, korban Lapindo, dan management Lapindonya sendiri, mereka beradu argument dengan mengelak menggunakan bahasa bahasa diplomatis yang dibungkus dengan kesan seolah tak bersalah, pada stasiun swasta lainnya pun membahas tentang “parpol setengah hati” nyaris tayangan malam ini mempertontonkan budaya cuci tangan para politikus, koruptor, dan manusia manusia yang tak punya hati, mau dibawa kemana bangsa ini kalo kalangan elitnya saja sudah tak punya hati nurani” celetuk ayah dari anak anakku sambil terus mendengarkan debat kusir yang dipandu Karni Ilyas. “Katanya partai bersih, bebas korupsi dan menolak gratifikasi,eh ternyata malah ketangkap, …masyaAllah kemana norma Islamnya, kemana dakwah yang sering dikumandangkan, mengapa begitu mudah terpesona dengan nikmatnya dunia, kemana akalnya, apakah ini pertanda matinya hati nuran?” Sang ayah merepet gak ketahuan ujungnya, sebagai warga Negara ada perasaan geram dihatinya melihat begitu banyak permainan permainan kotor yang dengan bangga dipertontonkan manusia yang hilang rasa malunya.
“Bunda…hati nurani itu apa sich” tanya sibungsu padaku, wajahnya berharap aku menjawabnya dengan cepat karena ia sudah tak sabar ingin mendengar bahasa – bahasa sang ayah selanjutnya.
“Dede, aku lagi sibuk, boleh gak tanya sama ayah apa arti hati nurani, ok! “perintahku, sebenarnya aku bisa saja menjawabnya tetapi saat itu aku sedang menyiapkan makan malam keluarga yang semuanya baru aku masak saat itu dan harus selesai secepatnya karena waktu sudah menunjukan pukul 21.05 wib keburu pada ngantuk, kulihat wajah tidak puasnya sambil memegang remote ac, ia berjalan masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu kamar dengan agak keras sambil berkata” ternyata bunda juga nggak punya hati nurani”. Waduh…? Aku kaget dan langsung mematikan kompor gas jadul hadiah ultah ke 35 dari suamiku dan bergegas menghampirinya.
“Dede, koq ngomong kayak gitu, memangnya dede tahu apa itu hati nurani?” ujarku dengan sedikit membesarkan mata ini.
“karna aku gak tau maka aku nanya, bunda malah sibuk sama makanannya ayah.”
“Kan aku sudah bilang tanya sama ayah, kenapa kamu ngga nanya ayah?”
“Orang aku mau nanya sama bunda”
“Ya udah, geser dikit dong, kalo kamu mau tau apa itu hati nurani sekarang bunda jelaskan menurut bahasa, kata nurani berasal dari kata nuurun dan ainii berarti cahaya mata saya. Menurut Istilah, yaitu partikel kecil (microchip) hidayah yang diamanatkan oleh Allah. Dengannya secara fitrah, manusia bisa mengenali dirinya dan Tuhannya. Mengetahui yang benar dan yang salah.
Seperti sabda Rasulullah Saw , “Mintalah fatwa dari hati nurani kita, kebenaran adalah apabila nurani dan jiwamu tenang terhadapnya sementara dosa apabila hati mu gelisah” (HR.Ahmad). Artinya, nurani kita akan menolak saat kita hendak melakukan perbuatan dosa sekecil apapun.”
“Kayak lagunya Aa Gim dong” celetuk putri kecilku sambil menyanyikan beberapa bait liriknya.
jagalah hati… jangan kau kotori…
jagalah hati… lentera hidup ini…
Jagalah hati… jangan kau nodai…
Jagalah hati cahaya Illahi…”
Sebuah potongan lirik nasyid yang indah dan sangat menyentuh, membuat diriku tersadar betapa pentingnya menjaga hati nurani. Sangat pas untuk direnungi di tengah kondisi negeri ini. Saat kemaksiatan semakin merajalela, pembunuhan dan bunuh diri tidak lagi asing di telinga. Saat ekonomi belum juga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena ia hanya menjadi eksploitasi bisnis demi keuntungan pribadi dan kelompok. Ketika kemiskinan dan kesejahteraan hanya menjadi bahan seminar dan diskusi karena belum menyentuh keberpihakan pada rakyat yang menderita. Pemerkosaan yang berada disekitar lingkungan terkecil, seorang ayah memperkosa anak kandungnya, akibat kebutuhan biologis yang tidak diberikan sang istri yang sibuk bekerja lantaran faktor ekonomi, remaja – remaja yang semakin brutal mencari jati dirinnya dengan cara yang salah dan sangat menyimpang dari ajaran Islam, Politik sangat jauh dari aspirasi rakyat. Kasus-kasus korupsi yang menimpa negeri ini adalah bagian dari fenomena telah lemahnya nurani bahkan terkesan mati.
“Bun, apakah aku punya hati nurani?” tanya putri keduaku
“Tergantung” Jawabku singkat
“Loh koq tergantung sih” balasnya
“ Orang yang mempunyai hati nurani, biasanya lebih peka terhadap suatu hal dan biasanya bersifat social spiritual, contohnya kalo liat rumahnya berantakan langsung diberesin, kalo liat piring kotor langsung dicuci, kalo liat pengemis rasa simpati dan empatinya tumbuh, kalo liat temen yang sedih dan susah dibantu dan dihibur, dan yang paling penting nih kalo waktunya sholat langsung sholat”
“ Wah..gue banget tuh”teriak sang kakak dari dapur sambil membersihkan piring piring kotor.
“wuueeek…wuuueek..” gaya orang yang mau muntah di peragakan sang adik ketika mendengar seloroh kakak perempuannya, “ ngga nyadar kakak nih,iih..”
“Emang iya, akukan seperti apa kata bunda. Beberes rumah aku kerjaiin, nyuci piring…iya, ngasih uang ke pengemis juga iya, kalo si Marfuah sedih diledekin teman-teman akulah yang membelanya”
“Iya tapi giliran waktu sholat, bunda harus teriak dulukan?” timpal sibungsu
“Yah, kalo itu sih sebenarnya memang aku sengajain, biar bunda pahalanya lebih besar saja, kan seorang ibu tidak boleh bosen untuk mengingatkan dan menanamkan kebajikan pada anak – anaknya, itupun kalo sang ibu mau masuk surge”kilahnya.
Mmhh,….ada saja bahasa anak anak jaman sekarang kalo debat sama orang tuanya, mereka berpikir orang tua mempunyai kewajiban yang besar dalam mendidik putra putrinya, padahal itu semua tidak akan berjalan sukses bila keduanya tidak saling bersinergi untuk menggapai mahabbah Illahi.
“Bunda…seberapa pentingnya hati nurani bagi seorang manusia seperti kita”
“Subhanllah…sangat penting dek, Semua kejadian bisa diingat oleh hati nurani, karena hati nuranilah yang kelak akan menjadi saksi di hadapan Allah, seperti Firman Allah: “Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada” (QS. al-Adiyat: 9 -10). Jadi, hati nurani memiliki nuur (ber-cahaya), tidak menyilaukan tapi memberi penerangan sebagai petunjuk. Oleh karena itu, ketika hati nurani dibelenggu hawa nafsu, hati nurani bisa kehilangan ruh-nya, cahayanya semakin pudar sehingga pada akhirnya tidak dapat membedakan halal dan haram. Dalam keadaan seperti itu, manusia disebut buta yang sebenar-benarnya karena mata jika tertutup menjadi gelap tidak tahu halal dan haram. Orang yang secara lahiriyah tidak dapat melihat tapi mata hatinya bening maka ia lebih baik dari orang yang buta mata hati. Oleh karena itu buta yang sebenarnya adalah buta adalah buta mata hati (hati nurani) bukan buta mata kepala, coba kakak lihat QS. al-Hajj [22]: 46).” Jelasku panjang lebar.
“Kalo gitu ayah punya hati nurani dong, liat aja kalo ayah mau makan pasti ikan guramenya dulu yang dikasi makan, pohon – pohonnya disirami baru tuh ayah makan” kembali sibungsu berkomentar, dan aku hanya tersenyum sambil berpikir, bahwa ternyata benar apa yang dikatakan putri kecilku.
Sebenarnya Nurani ada dalam ranah spiritual, kematian nurani merupakan krisis spiritual. Semua ini bermuara pada semakin lemahnya kecenderungan dan kemampuan manusia dalam mengenal Tuhannya dengan segala perintah dan larangan-Nya. Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan sebagai proses lemahnya iman kepada Tuhan. Inilah sebenarnya pemasalahan kita semua yang telah melahirkan berbagai krisis. Iman adalah kata kunci dalam setiap permasalahan nurani dan spritualitas. Karena iman bagi spritualitas adalah ibarat air bagi tanaman. Sementara spiritualitas yang sehat dengan iman yang kuat dan benar akan menghidupkan nurani.
“ Andai setiap orang mempunyai keimanan yang tinggi…” desahku
“Tapi Iman yang bagaimana?” Tanyaku dalam hati tentu saja bukan sekadar mengimani bahwa Tuhan itu ada. Iman dalam arti taat dan patuh pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya dan bisa menjadi kontrol bagi perilakunya. Rasulullah Saw bersabda, “Apabila Allah mencintai seseorang hamba, Dia menjadikan baginya pemberi nasehat dari jiwanya dan pengingat dari hatinya yang memerintahnya dan melarangnya” (HR. Ahmad). Itulah nurani yang hidup dengan iman. Iman akan tetap terjaga dalam hati dengan menghidupkan rasa muraqabatullah (perasaan selalu diawasi Allah). Sebuah rasa yang lahir dari keyakinan bahwa tidak ada satupun di alam semesta ini yang luput dari ilmu Allah. “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dia-lah yang keenam” (QS.Al-Mujaadalah: 7)…Allahu Akbar ternyata disetiap peristiwa ada saja makna yang tersirat yang diberikan Allah SWT agar kita dapat berpikir dan mengetahui bahwa segalanya sudah di atur olehNya dengan maksud – maksud yang manusia tidak pernah menyadarinya.
Makan malam saat itu menjadi makan malam yang syahdu, ketika setiap diri berpikir apakah diri ini masih punya hati nurani? Setidaknya untuk mengatakan bahwa makanan ini enak sekali, atau sekedar menyuci piring – piring kotor, atau mungkin berharap esok pagi tak terdengar suara lengkingan Ndoro Putri ketika azan subuh menyapa.